Mencermati pemberitaan media massa, semakin banyak perilaku menyimpang, kekerasan, dan kriminalitas yang melibatkan kelompok remaja. Ada berbagai motif yang mendasari perilaku menyimpang remaja tersebut; mulai dari ekonomi, psikologi, hingga ikut-ikutan. Apabila ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya ada fenomena sosial lebih rumit yang melatarbelakangi perilaku menyimpang remaja; salah satunya adalah kegagalan fungsi komunikasi keluarga.

Keluarga memberikan pengaruh besar dalam perkembangan kejiwaan manusia. Manusia pertama kali belajar mengenai nilai-nilai kehidupan dari keluarga. Keluarga juga menjadi lembaga kontrol sosial pertama bagi seorang anak. Nilai-nilai yang dipercayai dan dijalani manusia sepanjang hidupnya juga sebagian besar berasal dari keluarga. Pada kenyataannya, pelaku kriminal biasanya juga berasal dari keluarga yang memiliki masalah dalam penanaman nilai-nilai positif.

Kurun 20 tahun terakhir telah banyak yang berubah dalam institusi keluarga. Salah satu faktor pendorong perubahan institusi keluarga adalah keberhasilan Program Keluarga Berencana. Saat ini ukuran keluarga secara umum menjadi semakin kecil, yakni hanya terdiri dari orangtua dengan sedikit anak. Berbeda pada dua dekade sebelumnya, di mana umumnya keluarga memiliki lebih dari 4 anak. Menurut pengamatan Effendi dan Sukamdi (1994) struktur keluarga pun telah mulai bergeser dari keluarga luas (extended family) menjadi keluarga batih (nuclear family), terutama di daerah perkotaan.

Pergeseran struktur keluarga secara logika seharusnya berkorelasi positif dengan kemudahan penanaman nilai-nilai dalam keluarga. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Apabila kita mengamati pemberitaan media massa, justru seakan menolak hipotesis kemudahan penanaman nilai-nilai dalam keluarga. Pemberitaan media massa semakin riuh dengan realitas kegagalan institusi keluarga dalam menanamkan nilai-nilai positif kepada generasi muda. Kenapa bisa begitu?

Ekonomi dan Karir

Struktur keluarga yang kecil berkorelasi positif dengan perbaikan tingkat ekonomi. Orangtua dengan jumlah anak yang lebih sedikit akan memiliki lebih banyak sisa uang dari penghasilan mereka. Setelah kebutuhan primer terpenuhi, sisa uang tersebut juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Keluarga modern saat ini tentu sudah biasa dengan keadaan rumah yang dilengkapi dengan kebutuhan primer dan sekunder seperti home theatre, saluran televisi berbayar, internet, hingga kendaraan dan gadget untuk masing-masing penghuni rumah.

Tingkat ekonomi yang semakin baik juga akan membawa kesadaran baru bagi masing-masing anggota keluarga. Seorang ibu yang dahulu lebih banyak berfungsi secara sosial, dengan momong anak di rumah, saat ini sudah memiliki lebih banyak kegiatan di luar rumah. Fungsi momong anak digantikan oleh PAUD, tentu saja dengan mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar SPP-nya.

Fungsi sosial ibu lainnya yang sudah banyak bergeser adalah kegiatan perawatan rumah. Saat ini, banyak keluarga modern sudah memiliki asisten rumah tangga untuk kegiatan perawatan rumah. Bahkan, kadangkala lebih dari satu asisten rumah tangga. Apabila anak dari keluarga modern ada yang masih bayi, akan bertambah lagi dengan adanya baby sitter yang 24 jam menjaga bayi mereka.

Pergeseran fungsi sosial ibu, dari domestik ke publik pada akhirnya menurunkan intensitas tatap muka dengan anggota keluarga lainnya. Apabila tatap muka merupakan salah satu indikator terjadinya komunikasi keluarga yang baik, maka dengan berkurangnya intensitas tatap muka akan memperburuk komunikasi keluarga. Muara dari buruknya komunikasi keluarga adalah gagalnya penanaman nilai berbasis keluarga; digantikan dengan nilai-nilai lain yang memiliki intensitas komunikasi lebih tinggi: melalui media, teman sebaya, atau sekolah tempat anak belajar.

Peran Ibu

Beberapa penelitian menempatkan ibu sebagai sosok penting dalam komunikasi keluarga (Kirkman et al., 2005). Anak seringkali lebih terbuka berkomunikasi mengenai sebuah isu sensitif kepada ibu dibandingkan kepada ayah, misalnya saja ketika mereka mendiskusikan masalah seksualitas. Sementara sosok ayah seringkali hanya dilibatkan dalam komunikasi keluarga yang bersifat umum.

Realitas keluarga modern memang menjadi tantangan tersendiri bagi peran komunikasi seorang ibu. Meskipun begitu, ibu tetap harus memiliki kepekaan komunikasi. Biasanya sebuah peristiwa besar, seperti perilaku menyimpang remaja, tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada gejala-gejala dini yang bisa diamati, terutama oleh orang terdekat pelaku. Tanpa mengecilkan peran ayah, ibu merupakan sosok yang paling dekat dengan anak.

Sudah saatnya ibu tidak lagi menggantungkan dan mempercayakan komunikasi anaknya terhadap berbagai perangkat media yang ada. Justru ibu harus mewaspadai dan memahami betul resiko setiap fasilitas media yang ada di rumah. Jangan sampai seorang ibu terkesan sudah memenuhi kebutuhan anaknya; dengan menyekolahkan pada sekolah termahal, membelikan gadget tercanggih, memberikan fasilitas internet hingga saluran televisi berbayar, tapi lupa bahwa komunikasi yang paling bermakna adalah tatap muka.

Inilah yang menjadi tugas utama ibu, karena ibu bukan lagi orang nomor dua setelah ayah. Saat ini sosok ibu sudah menjadi kepala komunikasi rumah tangga. Segala inisiatif komunikasi bergantung pada sosok ibu. Selamat hari ibu!

Foto: citizen6.liputan6.com
Continue Reading