Mengenal Analisis Wacana Kritis
Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan seorang mahasiswa mengenai penelitiannya yang menjadi syarat kelulusan program sarjana. Mahasiswa menggunakan Analisis Wacana Kritis (AWK), dan tampaknya kebingungan dalam mengeksekusi penelitiannya.
Jujur saja, saya sama saja bingungnya dengan mahasiswa tersebut. Memahami eksekusi penelitian kualitatif (termasuk AWK) memang butuh kemauan yang tinggi dan investasi waktu yang tidak sedikit. Kadangkala, semakin jauh kita coba pahami, semakin bingung. Semoga hanya saya saja yang mengalaminya.
Jadi, karena saya bingung, tulisan ini tidak layak disebut tutorial atau petunjuk ringkas mengerjakan riset AWK. Tulisan ini sekadar menuangkan bacaan yang saya jadikan bahan diskusi dengan mahasiswa tersebut, serta dilakukan dalam sekali duduk.
"Sebelum menggunakan AWK, lebih baik kita bertanya mengenai tujuan utama riset," kata saya kepada sang mahasiswa yang cerdas itu. Tujuan riset memang ibarat musuh dalam peperangan yang harus dikenali oleh para peneliti. Apabila musuhnya banyak, mungkin perlu bawa senapan otomatis. Sebaliknya, peneliti cukup bawa pistol apabila musuh yang dihadapi sedikit.
Lalu AWK ini jenis senjata apa? Apakah senapan otomatis atau pistol enam peluru? Agak sulit mengkategorikan metode kalau penggambarannya dibandingkan dengan sebuah senjata. Mungkin para pembaca bisa mengkategorikan sendiri, dengan menyimak penjelasan Romo Dr. Haryatmoko (yang kepakarannya sudah banyak diakui) mengenai asumsi AWK: "Bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi. Dibalik bahasa ada ideologi. Bahasa digunakan sebagai instrumen kekuasaan, bahkan menjadi alat penindasan."
Tugas AWK, menurut Romo Dr. Haryatmoko, adalah "mencairkan ideologi yang dibekukan dalam bahasa", sehingga bentuk dominasi yang tidak adil, atau ketidakbenaran sosial bisa diungkap. Sebuah tugas yang berat.
"Lalu, apakah semua jenis bahasa bisa diteliti dengan AWK?"
Pertanyaan sang mahasiswa cerdas itu membuatku berpikir keras. Kalau menyimak penjelasan Romo Haryatmoko, harusnya setiap bahasa mengandung ideologi tertentu. Artinya, semua jenis bahasa (atau wacana) bisa diteliti menggunakan AWK. Namun, saya kemudian ingat analogi metode dan senjata: gunakan senjata yang tepat untuk musuh yang tepat. Mungkin semua bahasa memiliki kesempatan untuk diteliti menggunakan AWK, masalahnya efektif tidak?
Saya lebih cenderung memiliki pendapat bahwa peneliti dapat secara efektif menggunakan AWK ketika bahasa (atau wacana) yang dijumpainya tepat. Artinya ada ideologi yang kentara menempel pada bahasa tersebut. Wacana atau bahasa yang berkesan "flat", lebih baik diserahkan kepada analisis bahasa / teks yang lain saja.
_____
Gambar: iwastesomuchtime.com Continue Reading
Jujur saja, saya sama saja bingungnya dengan mahasiswa tersebut. Memahami eksekusi penelitian kualitatif (termasuk AWK) memang butuh kemauan yang tinggi dan investasi waktu yang tidak sedikit. Kadangkala, semakin jauh kita coba pahami, semakin bingung. Semoga hanya saya saja yang mengalaminya.
Jadi, karena saya bingung, tulisan ini tidak layak disebut tutorial atau petunjuk ringkas mengerjakan riset AWK. Tulisan ini sekadar menuangkan bacaan yang saya jadikan bahan diskusi dengan mahasiswa tersebut, serta dilakukan dalam sekali duduk.
"Sebelum menggunakan AWK, lebih baik kita bertanya mengenai tujuan utama riset," kata saya kepada sang mahasiswa yang cerdas itu. Tujuan riset memang ibarat musuh dalam peperangan yang harus dikenali oleh para peneliti. Apabila musuhnya banyak, mungkin perlu bawa senapan otomatis. Sebaliknya, peneliti cukup bawa pistol apabila musuh yang dihadapi sedikit.
Lalu AWK ini jenis senjata apa? Apakah senapan otomatis atau pistol enam peluru? Agak sulit mengkategorikan metode kalau penggambarannya dibandingkan dengan sebuah senjata. Mungkin para pembaca bisa mengkategorikan sendiri, dengan menyimak penjelasan Romo Dr. Haryatmoko (yang kepakarannya sudah banyak diakui) mengenai asumsi AWK: "Bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi. Dibalik bahasa ada ideologi. Bahasa digunakan sebagai instrumen kekuasaan, bahkan menjadi alat penindasan."
Tugas AWK, menurut Romo Dr. Haryatmoko, adalah "mencairkan ideologi yang dibekukan dalam bahasa", sehingga bentuk dominasi yang tidak adil, atau ketidakbenaran sosial bisa diungkap. Sebuah tugas yang berat.
"Lalu, apakah semua jenis bahasa bisa diteliti dengan AWK?"
Pertanyaan sang mahasiswa cerdas itu membuatku berpikir keras. Kalau menyimak penjelasan Romo Haryatmoko, harusnya setiap bahasa mengandung ideologi tertentu. Artinya, semua jenis bahasa (atau wacana) bisa diteliti menggunakan AWK. Namun, saya kemudian ingat analogi metode dan senjata: gunakan senjata yang tepat untuk musuh yang tepat. Mungkin semua bahasa memiliki kesempatan untuk diteliti menggunakan AWK, masalahnya efektif tidak?
Saya lebih cenderung memiliki pendapat bahwa peneliti dapat secara efektif menggunakan AWK ketika bahasa (atau wacana) yang dijumpainya tepat. Artinya ada ideologi yang kentara menempel pada bahasa tersebut. Wacana atau bahasa yang berkesan "flat", lebih baik diserahkan kepada analisis bahasa / teks yang lain saja.
_____
Gambar: iwastesomuchtime.com Continue Reading