Ada sebuah artikel dalam buku 101 Creative Notes yang saya baru-baru ini saya baca-baca kembali. Buku ini terbit beberapa tahun silam (tepatnya tahun 2013). Penulisnya, Yoris Sebastian, bercerita dalam salah satu babnya mengenai pentingnya Interview Senior People, atau belajar kepada seseorang yang pakar di bidangnya. Yoris mempraktekkannya dalam rubrik di majalah Intisari yang berjudul Meet The Maestro.

Salah satu tokoh yang pernah diwawancara oleh Yoris adalah Purnomo Prawiro, pengusaha yang telah membangun bisnisnya dari bawah hingga menjadi perusahaan transportasi darat dengan armada terbesar di Indonesia. Di bawah payung usaha Blue Bird Group, jaringan usaha transportasi yang dimiliki mencakup wilayah Jakarta, Bandung, Semarang, Cilegon, Surabaya, Bali, Lombok, Manado, dan Medan. Karyawan yang dimiliki berkisar pada angka 20.000 orang. Blue Bird bahkan masuk dalam usaha bisnis yang sustain, dengan realitas persiapan generasi ketiga yang kelak akan memimpin perusahaan.

Beberapa tahun berlalu, tulisan Yoris mengusik rasa penasaran saya. Iseng-iseng saya mencari melalui mesin peramban Google dengan kata kunci "Keadaan Blue Bird" ( Tanpa tanda "", mudah-mudahan kata kunci tersebut tidak bias). Saya membuka tiga tautan teratas; liputan.com, tirto.id, dan detik.com. Berita-berita tiga laman teratas dalam menceritakan bagaimana tantangan yang dihadapi oleh Blue Bird dalam menghadapi era komunikasi digital saat ini. Sebagian laman lain memperlihatkan data mengenai penurunan pendapatan yang dihadapi oleh Blue Bird.

Realitas yang saya baca di tiga laman teratas pencarian Google tentang "Keadaan Blue Bird" membawa ingatan saya kepada nama seorang guru besar ekonomi termasyhur: Rhenald Kasali. Buku terkininya, Disruption, menyentak wacana di masyarakat. Kasali mengingatkan banyaknya hentakan-hentakan yang mengagetkan manusia di era internet. Lebih lanjut Kasali mengingatkan juga mengenai seringnya terjadi salah kaprah dalam pemaknaan disruption. Rata-rata anggapan masyarakat mengatakan disruption hanya berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Dia mengatakan bahwa disruption itu sejatinya mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri.

Kasali mengatakan ada lima hal penting yang perlu digaris bawahi pada era disruption. Pertama, disruption berakibat penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel. Kedua, ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik daripada sebelumnya. Kalau lebih buruk, jelas itu bukan disruption. Ketiga, disruption berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-ekslusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka. Keempat, produk/jasa hasil disruption ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Kelima, disruption membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat.

Google terjemahan mengartikan disruption sebagai gangguan. Sedangkan laman oxforddictionaries.com mengatakan bahwa disruption (noun) is disturbance or problems which interrupt an event, activity, or process. Laman dictionary.cambridge.org mengatakan bahwa disruption (noun) is an interruption in the usual way that a system, process, or event works. Saya memberanikan diri menerjemahkan disruption menjadi disrupsi, dan menjadikannya judul artikel ini. Saya kira judul disrupsi komunikasi terdengar bagus dan berima.

Sebuah capture yang dibagikan seorang kawan Facebook (sepertinya dari buku Disruption karya Rhenald Kasali) menggambarkan bagaimana banyak perusahaan besar sedang berada dalam pusaran perubahan yang demikian drastis. Apabila di masa lalu Bluebird menjadi jasa transportasi yang memimpin pasar, maka hari ini mereka harus rela berbagi dengan jasa transportasi berbasis aplikasi online. Di masa depan, kemungkinan yang menguasai pasar jasa transportasi adalah sharing transportation. Perusahaan lain juga harus bersiap-siap, bahkan termasuk perusahaan pendidikan alias perguruan tinggi.


Dari perspektif komunikasi, saya kira disrupsi ini akan berkaitan dengan cara pandang terhadap informasi. Dahulu mencari informasi merupakan hal yang penting. Informasi merupakan sebuah modal, semakin banyak semakin bagus. Kini informasi tetap penting, tetapi orang sudah tidak sekedar mencari informasi, melainkan memilahnya. Informasi harus betul-betul menarik perhatian untuk dapat dipilih dan diproses. Membuka diri dan menampilkan citra baik menjadi penting alih-alih menutupinya.

Saya pernah memiliki pengalaman mencari informasi di sebuah kantor desa di pelosok Jawa. Informasi yang saya butuhkan kiranya tidak termasuk kategori rahasia. Anehnya informasi tersebut terkesan "disembunyikan", karena tersimpan di laci-laci yang entah kapan dibuka lagi. Apakah tidak lebih baik informasi itu disimpan saja secara digital di dunia maya? Atau mungkin akan lebih baik seandainya disebarkan saja? 

Orang akan mendapatkan nilai tambah dari informasi desa itu. Tidak menutup kemungkinan informasi tersebut dapat dijadikan modal kolaborasi antardesa: membentuk sebuah desapolitan. Ayolah Pak Kades, manfaatkan perangkat internet yang sudah mahal-mahal dipasang dan dilanggan! Jadikan desamu maju sebagai desa tahan disrupsi bukan lagi menutup diri.

Bacaan:
Sebastian, Yoris. 2013. 101 Creative Notes. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Gambar: mm.industri.co.id, screenshot Facebook

Continue Reading