Kamis, 25 Oktober 2018


Suatu ketika dalam membina relasi dengan seseorang, kita mungkin dikagetkan dengan perilakunya yang tidak masuk akal. Tiba-tiba saja orang tersebut menjadi pendiam, jarang berbicara. Kalaupun harus berbicara, hanya seperlunya saja. Kita tiba-tiba saja merasa orang tersebut menjadi asing. Akhirnya, kita merasa perlu menata ulang pikiran, toleransi, dan adaptasi terhadap apa yang kita rasakan.

Demikianlah hubungan manusia dengan sesamanya. Ada kalanya, hubungan antarmanusia mengalami situasi pasang-surut. Meskipun demikian, tidak serta merta hubungan tersebut kandas. Hubungan tersebut hanya mmalih-rupa saja. Sifat hubungan yang unik seperti ini diamati secara mendetail oleh Baxter dan Montgomery pada tahun 1996, yang menamai hasil pengamatannya dengan nama Teori Dialektika Relasional (Relational Dialectics Theory).

Pandangan Baxter dan Montgomery terhadap relasi antarindividu dipengaruhi secara langsung oleh pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mencetuskan Teori Dialog Personal. Kehidupan sosial bagi Bakhtin merupakan dialog terbuka diantara banyak suara, dan esensi dari semua itu adalah “perbedaan simultan namun padu dengan liyan (simultaneo us differentiation from yet fusion with another).” Menurut Bakhtin, diri (self) hanya akan ada dalam konteksnya dengan liyan (another). Bakhtin memberi penekanan bahwa pengalaman manusia dibentuk melalui komunikasi dengan orang lain (dalam West dan Turner, 2003).

Teori Dialektika Relasional memiliki beberapa asumsi teoritis (West dan Turner, 2003). Pertama, hubungan tidak bersifat linier. Asumsi ini merupakan bagian paling penting dalam Teori Dialektika Relasional. Relasi tidak terdiri dari bagian-bagian linier, namun lebih pada rangkaian keinginan yang kontradiktif. Baxter dan Montgomery kurang sepakat dengan istilah “perkembangan hubungan (relational development)”, karena seakan menunjukkan pergerakan hubungan yang bersifat linier. Hubungan linier berasumsi bahwa semakin dalam sebuah hubungan, maka elemen-elemen seperti keintiman, keterbukaan, dan kepastian, semakin terlihat. Teori Dialektika Relasional melihat hubungan yang dalam tidak semata-mata bersifat linier. Hubungan yang dalam dapat bersifat terbuka, misalnya, atau sedikit tertutup. Hubungan lebih kompleks daripada sekedar penciri yang digambarkan dalam asumsi linier.

Kedua, Teori Dialektika Relasional melihat bahwa hubungan ditandai dengan adanya perubahan. Sekali lagi, perubahan ini tidak selalu berupa kemajuan hubungan. Ada kalanya perubahan dalam hubungan berbentuk kerenggangan. Hal ini sesuai yang dikatakan Baxter dan Montgomery bahwa proses atau perubahan hubungan merujuk pada pergerakan kuantitatif dan kualitatif sejalan dengan waktu dan kontraksi-kontraksi yang terjadi di sekitar hubungan yang dikelola.

Ketiga, kontradiksi merupakan fakta fundamental dalam sebuah hubungan. Asumsi ketiga ini memberi penekanan bahwa kontradiksi atau ketegangan antara dua hal berlawanan tidak pernah hilang dan tidak pernah berhenti menciptakan ketegangan. Manusia mengelola ketegangan dan pertentangan dalam berbagai cara, namun tetap saja muncul dalam hubungan. Pengelolaan yang dilakukan manusia ini memerlukan peranan komunikasi.

Asumsi terakhir Teori Dialektika Relasional adalah berkenaan dengan peranan komunikasi yang sangat sentral dalam mengelola dan menegosiasikan kontradiksi hubungan. Baxter dan Montgomery menyatakan bahwa “dari perspektif dialektika relasional, aktor sosial memberikan kehidupan melalui kegiatan komunikatif mereka menuju pada kontradiksi yang mengelola hubungan mereka. Realitas sosial kontradiksi diproduksi dan direproduksi oleh tindakan komunikatif para aktor sosial."

*) Artikel ini dipindahkan dari laman cakganjar.com pada tanggal 25 Oktober 2018. Baca lebih lanjut buku West & Turner yang berjudul Introducing Communication Theory, terbitan tahun 2004 oleh McGraw-Hill (New York). Gambar diambil dari laman https://goodmenproject.com/featured-content/relationship-timing-fragility-true-connection/

Post a Comment: