Selasa, 27 Juli 2010


Iklan rokok adalah produk budaya yang kontroversial. Sebagian orang menyukai produk budaya ini, sementara sebagian yang lain menentangnya.

Sebagian orang menyukai iklan rokok karena beberapa alasan tertentu. Pertama, iklan rokok itu bagus. Diakui atau tidak, iklan rokok banyak memunculkan tema-tema segar. Sebut saja tema persahabatan, ketekunan, keberanian, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hingga saat ini, kreatifitas iklan rokok relatif belum tertandingi.

Kedua, iklan rokok banyak ‘menolong’ industri media. Pengeluaran industri rokok dalam beriklan lebih relatif besar apabila dibandingkan industri lainnya. Pada tahun 2006 misalnya, iklan rokok menghabiskan dana hingga  Rp. 1,6 triliun, dan menjadi pengiklan terbesar kedua setelah industri telekomunikasi. Apabila tidak halangan yang berarti dari peraturan perundang-undangan, iklan rokok dapat terus meningkat nilainya seiring peningkatan konsumsi dan prevalensi merokok.

Ketiga, iklan rokok akan mendorong peningkatan konsumsi dan prevalensi merokok. Peningkatan konsumsi  dan prevalensi merokok secara tidak langsung dapat memutar roda perekonomian negeri ini. Para petani tembakau tersenyum girang karena panennya laku. Cukai rokok yang menjadi salah satu pemasukan utama negeri ini juga akan semakin meningkat.

Pembenci Iklan Rokok

Selain penyuka iklan rokok, sebagian orang masuk di kalangan pembenci iklan rokok. Menurut mereka,iklan  rokok itu bagus namun menipu. Secara medis, satu batang rokok mengandung  4000 bahan kimia di mana 400 di antaranya beracun dan 40 lainnya mengandung karsinogen yang dapat menimbulkan kanker. Melihat fakta medis tersebut, tidak mungkin seorang perokok menjadi laki-laki yang ‘jantan’atau bahkan disebut pemberani. Laki-laki perokok, menurut para pembenci iklan rokok, adalah orang yang lemah dan penyakitan.

Kedua, iklan rokok bukan tidak tergantikan. Menurut  pembenci iklan rokok, peranan iklan rokok di media memang signifikan. Namun, peranan yang signifikan ini bukan tidak tergantikan. Seandainya saja iklan rokok menghilang dari media massa, pertama kali yang terjadi adalah kolaps. Mungkin tidak akan ada lagi tayangan sepakbola dunia, atau pertandingan bulu tangkis yang menjadi kesayangan seluruh lapisan masyarakat. Namun suatu ketika, pasti ada industri pengganti yang bersedia menjadi sponsor acara-acara tersebut. Tayangan-tayangan yang memiliki rating tinggi sayang untuk ditinggalkan, demikian pameo produsen. Apesnya tayangan populer tersebut ditiadakan, masyarakat pasti akan dapat beradaptasi seperti ketika menghilangnya Liga Premiership Inggris dan Seri A Italia dari tayangan televisi terestrial.

Ketiga, peningkatan konsumsi dan prevalensi merokok secara ekonomis relatif kurang signifikan. Menurut hasil kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2008), industri rokok hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Penyerapan industri rokok terhadap tenaga kerja relatif semakin menurun karena adanya mekanisasi. Kajian ini juga memaparkan mengenai kenyataan bahwa jumlah petani tembakau ternyata hanya 684.000 orang atau 0,7 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja Indonesia. Rata-rata penghasilan mereka juga tidak sampai separo rata-rata upah nasional, yakni hanya Rp. 413.000 per bulan. Menurut Suwarta Kosen (2007), biaya kesehatan akibat rokok yang dikeluarkan Indonesia pada tahun 2006 sebesar 18,1 miliar dollar AS atau 5,1 kali pendapatan negara dari cukai pada tahun yang sama. Sementara itu, cukai yang diharapkan berfungsi sebagai sin tax (pajak dosa) justru lebih dimanfaatkan sebagai pendapatan negara saja. Seharusnya, cukai digunakan sebagai instrumen untuk pengawasan dan pembatasan produk yang kena cukai.

Sehari saja

Perdebatan antara dua orang yang berbeda pendapat mengenai iklan rokok ini tidak akan ada habisnya. Pada kenyataannya, sampai detik ini pendapat orang yang menyukai iklan rokok lebih mendapat tempat di ruang publik. Secara kasat mata dapat kita amati bahwa setiap tahun angka perokok dan prevalensi merokok cenderung meningkat. Demikian halnya angka belanja iklan rokok, juga meningkat.

Kiranya, dalam ruang publik yang adil, komunikasi berjalan seimbang. Ada kalanya pembenci iklan rokok diberi kesempatan. WHO telah mencanangkan tanggal 31 Mei sebagai hari tanpa tembakau se-dunia. Setiap tanggal tersebut, WHO mengharapkan penghentian konsumsi tembakau selama 24 jam. Pada hari itu, ada baiknya televisi juga menghentikan tayangan iklan rokok. Tidak selama 24 jam, namun hanya 7,5 jam saja, yakni jam 21.30 – 05.00.

Bersama-sama kita lihat, bagaimana signifikansi tiadanya iklan rokok dalam sehari. Apakah dunia pertelevisian akan kolaps? Apakah dunia periklanan kehilangan lahannya? Atau justru tidak terjadi apa-apa? Kalau tidak dicoba, siapa yang tahu jawabannya?

Foto: Abcactionnews.com

Post a Comment: