Kamis, 10 Maret 2011



Beberapa waktu yang lalu ada sebuah kehebohan dahsyat yang diciptakan sebuah situs bernama Wikileaks. Ribuan dokumen rahasia milik Amerika Serikat dicuri dan disebarluaskan. Para peretas (hacker) di Wikileaks memang fenomenal, mereka bisa mencuri rahasia negara adidaya sambil tetap merahasiakan diri. Tak banyak yang diketahui publik mengenai seluk beluk internal jaringan ini.

Wikileaks bahkan tidak punya kantor permanen. Julian Paul Assange, pendiri Wikileaks, biasa berkelana dan bekerja di mana saja. “Kantor tetapnya” adalah sebuah tas ransel berisi laptop, telpon genggam, dan berbagai perlengkapan komunikasi-informasi. Bukan hanya Assange, para relawan penyokong Wikileaks juga bekerja dari mana saja. Semboyan mereka, “We are Everywhere, We are Everyone, We are Anonymous.

Jika menyangkut rahasia negara yang berhasil dicuri, mereka sangat terbuka. Tapi jika menyangkut seluk-beluk internal organisasi Wikileaks, mereka cenderung tertutup. Birgitta Jonsdottir, salah satu relawan Wikileaks mengatakan bahwa mereka adalah sekumpulan skizofrenia paranoid.

Bahkan, saking paranoidnya, banyak di antara para relawan Wikileaks ini yang tidak saling kenal. Mereka berkomunikasi dengan identitas rahasia berupa inisial dan kode. Komunikasi dilakukan lewat chatting dalam bahasa enkripsi (disandikan). Saat wawancara dengan awak media yang jumlahnya sangat sedikit, mereka juga berkomunikasi dengan cara ini.

Assange tidak kalah paranoidnya dari para relawan Wikileaks. Nomor telepon dan alamat surat elektroniknya (e-mail) selalu berganti-ganti. Bahkan kawan-kawan dekatnya pun sering dibuat kerepotan dengan perilakunya ini. Ia selalu berpindah-pindah tempat dan selalu menyembunyikan lokasi keberadaannya. Setiap kali para relawan Wikileaks berkomunikasi dengan sesama relawan, mereka punya pertanyaan yang sama, “Di mana Julian (Assange) sekarang?”

Konteks Indonesia

Terkait dengan Indonesia, Wikileaks ditengarai telah mengantongi lebih dari 3.000 dokumen rahasia atau laporan diplomatik Amerika Serikat yang dikirim dari dan ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan konsulat jenderal di Surabaya.

Tiga dokumen telah dirilis, antara lain mengungkapkan Program Pelatihan dan Pendidikan Militer Internasional bagi Indonesia pascatragedi Santa Cruz yang disebut-sebut melibatkan TNI/Kopassus, serta intervensi Amerika Serikat dalam proses referendum Timor Timur pada tahun 1999 yang bermuara pada lepasnya wilayah itu dari Indonesia.

Secara substantif fundamental dan strategis tak ada implikasi serius atau konsekuensi destruktif terhadap keamanan nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Isu-isu nasional yang telah dan mungkin akan disingkapkan lagi sebenarnya bukan rahasia lagi atau sudah menjadi rahasia publik.

Tantangan Transparansi

Namun, yang perlu dianggap sebagai tantangan serius dalam kasus WIkileaks ini adalah gagasan tentang transparansi. Istilah “informasi publik” dengan sendirinya mengakui adanya “informasi nonpublik”, yaitu informasi yang tidak secara langsung memengaruhi keselamatan sebagian besar warga masyarakat, tetapi diperlukan untuk penyelenggaraan fungsi negara.

Transparansi juga bukan sesuatu yang tanpa diferensiasi. Dengan persyaratan tertentu, dan kecuali menyangkut impunitas negara, misalnya, di bidang pelanggaran hak-hak asasi manusia dan korupsi, sistem demokratis membenarkan “transparansi sebagian”. Sehingga, bukan tidak mungkin menempatkan keterbukaan informasi (publik) dengan perlindungan informasi nonpublik.

Wikileaks sendiri, sebagai whistle-blower dalam bidang transparansi informasi, ternyata menerapkan diferensiasi ini. Terbukti, banyak dari relawan mereka justru mengundurkan diri karena menganggap banyak hal yang tidak transparan di tubuh Wikileaks sendiri. Jadi benar kiranya bahwa transparansi mutlak hanya pantas diketahui oleh Tuhan saja, dan tidak manusia.

(Seperti ditulis oleh M. Solekhudin di Majalah Intisari edisi Januari 2011, Kiki Syahnakri di Situs Kompas.com pada 14 Desember 2010, dan Kusnanto Anggoro di situs Kompas.com dengan tanggal yang sama)

Post a Comment: