Pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne yang berarti pelacur dan graphein yang berarti menulis. Beberapa tokoh telah memberikan pendefinisian apa yang dimaksud dengan ponografi. Pendefinisian ini tentunya terus berkembang seiring dengan perkembangan dinamika dan nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pada masa sekarang, pendefinisian pornografi bukan lagi hanya mengacu pada tindakan atau perbuatan seseorang, namun sudah menjadi semacam ideologi yang hidup di tengah-tengah masyarakat modern, dengan simbol utama perjuangan : pelecehan seksualitas perempuan.
Pendapat tentang pornografi ini dapat kita lihat dari beberapa argumen tokoh feminis. Laura Lederer mengungkapkan, “Pornography is ideology of a culture which promotes and condones rape, woman-battering, and other crimes of violence against women.” Sementara Susan Brownmiller memberi definisi, “Pornography promotes a climate of opinion in which sexual hostility against women is not only tolerated, but ideologically encouraged. The intent is to deny the humanity of women, so that act of aggression are viewed less seriously, and to encourage aggression.” Catharine MacKinnon, seorang feminis dan professor hukum dari University of Michigan memberikan definisi "Pornography has a central role in institutionalizing a subhuman, victimized, second-class status for women."
Di Indonesia, sampai saat ini tidak rumusan baku tentang definisi pornografi. Namun demikian, bukan berarti sistem hukum kita tidak mengenal delik pornografi. Delik pornografi digolongkan sebagai tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid), yaitu yang khusus berkaitan dengan seksualitas.
Ketidakjelasan definisi pornografi dalam sistem hukum nasional membawa dua dampak sekaligus, yaitu kerugian dan keuntungan. Kerugian ini terjadi karena selama ini KUHP telah ‘menyerahkan’ tafsir pelanggaran kesusilaan kepada majelis hakim. Penyerahan penafsiran pada hakim dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Sedangkan nilai keuntungan yang dapat diperoleh bahwa KUHP telah memberi ruang pada perubahan zaman dalam menafsirkan sebuah informasi; apakah dapat digolongkan ke dalam pornografi atau tidak.
Pornografi dan Internet
Data-data menunjukkan bahwa internet menjadi media penyebaran pornografi tersubur. Setiap detik, $ 3075,64 dibelanjakan untuk pornografi, dan 28.528 pengguna melihat situsnya. Dan, saat ini terdapat 420 juta halaman situs pornografi di dunia. Jumlah ini meningkat dari 14 juta halaman pada tahun 1997, dan 260 juta halaman pada tahun 2003. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan jumlah halaman situs porno meningkat 5-10 kali dalam 3 tahun.
Tambahan data lagi, menurut Dr. Robert Weiss dari Sexual Recovery Institute di Washington Times pada tahun 2000 yang menyatakan bahwa seks merupakan topik nomor satu yang dicari di internet. Sementara studi lain yang dilakukan oleh MSNBC/Stanford /Duquesne menyatakan bahwa 60 persen kunjungan internet adalah menuju situs porno, penelitian lain dari The Kaiser Family Foundation menemukan bahwa 70 persen kunjungan pengguna internet remaja menuju ke situs porno.
Penelitian di mesin pencari (search engine) menunjukkan bahwa keyword ‘SEX’ merupakan peringkat pertama dalam mencari situs-situs porno, dengan tingkat pencarian mencapai lebih dari 75 juta di tahun 2006. Menyusul di bawahnya pencarian untuk keyword ‘ADULT DATING’, ‘ADULT DVD’, dan ‘PORN’. Data lengkap seluruh terminologi yang mengarah pada pornografi dan jumlah aksesnya dapat dilihat di bawah ini:
Perlu diketahui, produsen situs pornografi di dunia sangat mahir menerapkan berbagai teknik internet marketing. Salah satu dari penyebab pornografi susah dicegah adalah akibat jebakan akses tidak sengaja. Misalnya saja kesalahan penulisan keyword, atau penggunaan keyword biasa menjadi porno, kedekatan nama domain, penggunaan nama merek tertentu untuk situs porno, serta e-mail spam.
Negara yang menjadi penyumbang pornografi terbesar adalah Amerika yakni sebesar 89 persen, disusul oleh Jerman, Inggris, Australia, Jepang dan Belanda. Sementara itu, negara-negara yang menjadi penikmat dan penerima ekses negatif didominasi oleh negara-negara kecil dan berkembang. Seperti negara Afrika Selatan yang menjadi pengakses keyword ‘SEX’ terbesar. Sedangkan Pakistan menjadi negara pengakses keyword ‘PORN’ terbesar.
Foto: Evangelicalfellowship.ca
Continue Reading
Blokir Pornografi di Internet?
Wacana yang berkembang dan kemudian coba direalisasikan oleh Kementerian Kominfo adalah memblokir situs dengan konten-konten yang ‘bermasalah’. Langkah yang dilakukan antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak pemfilter konten pornografi yang salah satunya bernama Nawala Nusantara. Selain itu, beberapa pemerintah kabupaten / kota juga menyisipkan perangkat lunak penyaring konten pornografi di situs mereka, seperti dilakukan Pemkot Malang yang menyertakan perangkat lunak bernama K9 dan Naomi.
Upaya lain yang dilakukan kementerian kominfo adalah bekerjasama dengan penyedia layanan telekomunikasi seluler. Peristiwa yang sempat menjadi konsumsi pembicaraan publik adalah tarik ulur kesepakatan dengan RIM (Research in Motion) Canada, penyedia layanan Blackberry. Begitu pentingnya isu kesepakatan ini, sampai-sampai kementerian merasa perlu sampai membuat empat siaran pers yang dimuat di situsnya.
Lalu berhasilkah sistem blokir yang diterapkan itu? Sepertinya jawaban tidak akan lebih pantas diberikan ketimbang sukses. Suatu ketika, Saya mencoba menelusuri dunia maya dan mengetikkan kata kunci ‘Nawala’ (penyedia layanan filter pornografi gratis) di Google. Peringkat paling atas hingga ketiga diisi oleh situs resmi Nawala. Namun, ketika sampai pada urutan keempat, nama situs sudah diisi dengan penyedia artikel ’10 Cara Blokir Nawala’, yang berisi cara-cara menghindari pemfilteran itu.
Sumber dari Kominfo sendiri menyatakan bahwa perkembangan situs porno sudah bukan lagi memakai deret hitung, atau deret ukur, melainkan sudah menggunakan algoritma. Jadi ketika hari ini diblokir dua situs, esok hari ribuan situs sudah muncul.
Selain itu, sekitar 20% pengguna internet mampu mengakses materi seksual, meski diblokir. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh European Comission, terkait penggunaan perangkat lunak yang mampu menyaring situs dengan konten berbahaya, termasuk pornografi, dari jangkauan anak-anak. Situs yang dilarang juga termasuk konten bunuh diri, anoreksia, maupun cara untuk melukai diri sendiri.
Hukum Pelaku?
Kasus pornografi pasti memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Pilihan penegak hukum biasanya adalah menghukum pelakunya. Hanya saja, pilihan tersebut juga mengundang kontroversi mengingat pelaku seringkali berlindung pada alasan tidak berniat menyebarluaskan konten pornografi, melainkan hanya bermaksud untuk koleksi pribadi belaka.
Kontroversi tidak hanya berhenti pada dihukum tidaknya si pelaku dan/atau si penyebar konten pornografi ini, melainkan juga jenis hukuman yang pantas mereka terima. Pada tahun 2003 pernah terjadi heboh ketika artis Femmy Permatasari dan Shanty menuntut orang yang merekam mereka ketika sedang berganti pakaian. Gambar tersebut diambil ketika Femmy dan kawan-kawan sedang mengikuti pemotretan untuk iklan sebuah merek bir pada tahun 1997. Pelakunya, Budi Han, dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh majelis hakim.
Vonis jauh lebih ringan diterima oleh George Ivan. George diseret ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah dipersalahkan mengambil gambar dan menyebarluaskan pose setengah telanjang dan telanjang sejumlah calon bintang iklan sabun. Video casting sabun ini menyebar dengan cepat melalui internet dan penjual video bajakan di pinggir jalan. Jaksa mendakwa George dengan pasal 282 KUHP (memperbanyak atau mengedarkan gambar atau rupa yang berbau pornografi) dan pasal 40 UU No. 8 tentang Perfilman.
Beberapa waktu yang lalu juga terjadi kasus pornografi yang melibatkan 3 artis papan atas Indonesia. Mereka adalah Ariel, Luna, dan Cut Tari. Majelis hakim pada akhirnya menjatuhkan vonis 3 tahun 6 bulan kepada Nazril Irham alias Ariel. Adapun Reza Rizaldy atau Redjoy divonis dua tahun penjara. Sementara itu, nasib Luna maya dan Cut tari sampai saat ini belum saya ketahui, apakah akan dihukum seperti Ariel atau divonis bebas.
Saat ini kasus-kasus pornografi yang melibatkan selebritis tersebut sudah tidak menjadi pembicaraan publik lagi. Kecuali kalau nanti hakim memutuskan Luna Maya dan Cut Tari juga ikut bersalah dan divonis dengan hukuman kurungan. Ironisnya, setelah meredanya kasus pornografi tersebut, kasus-kasus pornografi yang melibatkan orang lain yang bukan selebritis terus muncul. Akan tetapi, tidak seperti Ariel-Luna-Tari, kasus tersebut terkesan adem ayem, lepas dari pemberitaan dan pandangan publik, dan kurang terdengar sanksi hukum yang dijatuhkan pengadilan.
Fungsi Keluarga
Terdengar klise memang kalau berbicara tentang fungsi keluarga dalam mencegah pornografi. Namun, saya kira tidak ada pengontrol lain yang mampu membendung berdarnya pornografi selain keluarga. Apabila keluarga berperan optimal dalam memberi bekal kepada anak-anaknya, efek negatif akibat pornografi ini bisa ditekan. Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat tetap melakukan pengawasan yang ketat terhadap peredaran materi-materi pornografi.
Sebelumnya: Pornografi dan Kebijakan Telematika (Bagian 1)
(Sebagian artikel ini merupakan tulisan dari Ellyzar Zachra P.B. di situs Inilah.com yang diunggah pada 14/01/11, majalah tempo interaktif arsip pada tanggal 01/12/03, serta berita dari situs depkominfo.go.id dan situs nawala.org)
Foto: catholicnewstt.com
Continue Reading