Pornografi dan Kebijakan Telematika (Bagian 2)
Blokir Pornografi di Internet?
Wacana yang berkembang dan kemudian coba direalisasikan oleh Kementerian Kominfo adalah memblokir situs dengan konten-konten yang ‘bermasalah’. Langkah yang dilakukan antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak pemfilter konten pornografi yang salah satunya bernama Nawala Nusantara. Selain itu, beberapa pemerintah kabupaten / kota juga menyisipkan perangkat lunak penyaring konten pornografi di situs mereka, seperti dilakukan Pemkot Malang yang menyertakan perangkat lunak bernama K9 dan Naomi.
Upaya lain yang dilakukan kementerian kominfo adalah bekerjasama dengan penyedia layanan telekomunikasi seluler. Peristiwa yang sempat menjadi konsumsi pembicaraan publik adalah tarik ulur kesepakatan dengan RIM (Research in Motion) Canada, penyedia layanan Blackberry. Begitu pentingnya isu kesepakatan ini, sampai-sampai kementerian merasa perlu sampai membuat empat siaran pers yang dimuat di situsnya.
Lalu berhasilkah sistem blokir yang diterapkan itu? Sepertinya jawaban tidak akan lebih pantas diberikan ketimbang sukses. Suatu ketika, Saya mencoba menelusuri dunia maya dan mengetikkan kata kunci ‘Nawala’ (penyedia layanan filter pornografi gratis) di Google. Peringkat paling atas hingga ketiga diisi oleh situs resmi Nawala. Namun, ketika sampai pada urutan keempat, nama situs sudah diisi dengan penyedia artikel ’10 Cara Blokir Nawala’, yang berisi cara-cara menghindari pemfilteran itu.
Sumber dari Kominfo sendiri menyatakan bahwa perkembangan situs porno sudah bukan lagi memakai deret hitung, atau deret ukur, melainkan sudah menggunakan algoritma. Jadi ketika hari ini diblokir dua situs, esok hari ribuan situs sudah muncul.
Selain itu, sekitar 20% pengguna internet mampu mengakses materi seksual, meski diblokir. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh European Comission, terkait penggunaan perangkat lunak yang mampu menyaring situs dengan konten berbahaya, termasuk pornografi, dari jangkauan anak-anak. Situs yang dilarang juga termasuk konten bunuh diri, anoreksia, maupun cara untuk melukai diri sendiri.
Hukum Pelaku?
Kasus pornografi pasti memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Pilihan penegak hukum biasanya adalah menghukum pelakunya. Hanya saja, pilihan tersebut juga mengundang kontroversi mengingat pelaku seringkali berlindung pada alasan tidak berniat menyebarluaskan konten pornografi, melainkan hanya bermaksud untuk koleksi pribadi belaka.
Kontroversi tidak hanya berhenti pada dihukum tidaknya si pelaku dan/atau si penyebar konten pornografi ini, melainkan juga jenis hukuman yang pantas mereka terima. Pada tahun 2003 pernah terjadi heboh ketika artis Femmy Permatasari dan Shanty menuntut orang yang merekam mereka ketika sedang berganti pakaian. Gambar tersebut diambil ketika Femmy dan kawan-kawan sedang mengikuti pemotretan untuk iklan sebuah merek bir pada tahun 1997. Pelakunya, Budi Han, dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh majelis hakim.
Vonis jauh lebih ringan diterima oleh George Ivan. George diseret ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah dipersalahkan mengambil gambar dan menyebarluaskan pose setengah telanjang dan telanjang sejumlah calon bintang iklan sabun. Video casting sabun ini menyebar dengan cepat melalui internet dan penjual video bajakan di pinggir jalan. Jaksa mendakwa George dengan pasal 282 KUHP (memperbanyak atau mengedarkan gambar atau rupa yang berbau pornografi) dan pasal 40 UU No. 8 tentang Perfilman.
Beberapa waktu yang lalu juga terjadi kasus pornografi yang melibatkan 3 artis papan atas Indonesia. Mereka adalah Ariel, Luna, dan Cut Tari. Majelis hakim pada akhirnya menjatuhkan vonis 3 tahun 6 bulan kepada Nazril Irham alias Ariel. Adapun Reza Rizaldy atau Redjoy divonis dua tahun penjara. Sementara itu, nasib Luna maya dan Cut tari sampai saat ini belum saya ketahui, apakah akan dihukum seperti Ariel atau divonis bebas.
Saat ini kasus-kasus pornografi yang melibatkan selebritis tersebut sudah tidak menjadi pembicaraan publik lagi. Kecuali kalau nanti hakim memutuskan Luna Maya dan Cut Tari juga ikut bersalah dan divonis dengan hukuman kurungan. Ironisnya, setelah meredanya kasus pornografi tersebut, kasus-kasus pornografi yang melibatkan orang lain yang bukan selebritis terus muncul. Akan tetapi, tidak seperti Ariel-Luna-Tari, kasus tersebut terkesan adem ayem, lepas dari pemberitaan dan pandangan publik, dan kurang terdengar sanksi hukum yang dijatuhkan pengadilan.
Fungsi Keluarga
Terdengar klise memang kalau berbicara tentang fungsi keluarga dalam mencegah pornografi. Namun, saya kira tidak ada pengontrol lain yang mampu membendung berdarnya pornografi selain keluarga. Apabila keluarga berperan optimal dalam memberi bekal kepada anak-anaknya, efek negatif akibat pornografi ini bisa ditekan. Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat tetap melakukan pengawasan yang ketat terhadap peredaran materi-materi pornografi.
Sebelumnya: Pornografi dan Kebijakan Telematika (Bagian 1)
(Sebagian artikel ini merupakan tulisan dari Ellyzar Zachra P.B. di situs Inilah.com yang diunggah pada 14/01/11, majalah tempo interaktif arsip pada tanggal 01/12/03, serta berita dari situs depkominfo.go.id dan situs nawala.org)
Foto: catholicnewstt.com
Post a Comment: