Jumat, 08 Juni 2018


Sampai saat ini saya tidak mengerti maksud gestur yang ditunjukkan oleh Tasdi, bupati Purbalingga yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, ketika berjumpa wartawan beberapa waktu lalu. Gestur yang saya maksudkan adalah mengangkat tangan seraya mengacungkan jempol, telunjuk, dan kelingking, serta menggenggam jari tengah dan jari manis. Publik dan media menamainya "Salam Metal".

Gestur bupati Tasdi ini pada akhirnya menjadi viral di dunia maya. Netizen bertanya-tanya makna gestur tersebut. Pasalnya, gestur ini biasanya dilakukan kelompok anak-anak muda yang sedang asyik menonton konser musik rock. Mereka menirukan aksi bintang rock yang sedang di atas panggung. Belakangan, Pak Joko Widodo juga pernah menunjukkan gestur salam metal ini, kebetulan beliau juga penggemar musik rock. Apa bupati Tasdi penggemar musik rock ya?

Banyak artikel di internet yang mengaitkan gestur metal ini dengan hal-hal yang berbau satanik. Salam metal sangat mirip dengan gestur pemuja setan, hanya saja mereka menggenggam jempolnya juga, sehingga yang mengacung hanya jari telunjuk dan jari manis. Bicara tentang kontroversi simbolisasi jari akan sangat panjang dan melelahkan (silakan baca buku-buku pengantar ilmu komunikasi pada subbab komunikasi nonverbal). Yang jelas itu berhubungan erat dengan budaya tempat simbolisasi tersebut diciptakan.

Entah kenapa, gesturnya bupati Tasdi itu malah mengantar saya pada pengalaman kira-kira 21 tahun silam, tepatnya pada sekitar pemilu 1997. Saya belum memiliki hak pilih, tapi menikmati kampanye partai-partai peserta pemilu yang biasanya diisi konser atau tontonan. Pemilu era Orde Baru memang hanya diisi tiga partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Meskipun begitu, kemeriahan kampanye masing-masing partai tidak kalah dengan saat ini. Kemeriahan kampanye tersebut seakan-akan terlembagakan dengan adanya slogan pemerintah "pesta demokrasi" untuk menyebut kegiatan politik lima tahunan itu. 

Kemeriahan kampanye di era Orde Baru kadang-kadang dapat berakhir kericuhan, ketika waktu kampanye jatuh di saat yang sama. Kadang-kadang terjadi tawuran yang memakan korban, tapi yang sering terjadi hanya aksi saling ejek saja. Biasanya mereka saling mengeluarkan gestur identitas masing-masing partai. Pendukung PPP mengacung jari telunjuk sebagai simbol angka satu, pendukung Golkar mengacungkan jari telunjuk dan tengah sebagai simbolisasi angka dua, dan pendukung PDI dengan salam metal, persis gestur dari bupati Tasdi.

Secara kebetulan bupati Tasdi adalah kader PDIP, transformasi PDI di masa lalu. Apakah ada hubungan antara gestur bupati Tasdi tersebut dengan PDIP? Apa yang hendak dikatakannya? Saya kira apapun alasan dan motivasinya, yang dilakukan beliau tetap salah. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita bersama.  

Foto: detik.com

Post a Comment: