Menyimak Perjalanan Sejarah Iklan (Cetak)
Iklan media cetak yang saat ini terlihat tidak muncul dengan sendirinya, melainkan melalui proses perkembangan dalam waktu panjang. Setiap fase waktu memiliki keunikan yang kemudian meninggalkan penanda dalam wacana iklan yang hadir di waktu tersebut. Pembacaan iklan, dengan demikian, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan zaman yang melingkupinya. Istilahnya, iklan (dan tanda-tanda lainnya) selalu memiliki makna konotasi.
Saat melihat iklan-iklan media cetak yang dibuat pada era klasik barangkali kita tersenyum. Pilihan diksi, layout, hingga branding sebuah produk dieksekusi dengan sangat sederhana, bahkan kadang-kadang berkesan konyol. Kesederhanaan eksekusi iklan klasik tentu saja berhubungan dengan teknologi yang masih sederhana pula. Diksi dan layout iklan klasik biasanya juga menjadi representasi zaman, dan membutuhkan kepekaan pembacaan audiens.
Berbicara mengenai sejarah iklan media cetak, akan berhubungan dengan penentuan garis mula timeline-nya. Beberapa penulis memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai awal mula iklan media cetak Indonesia patut dikaji (atau diakui sebagai "iklan Indonesia"). Kertamukti (2010) memilih untuk mulai mengkaji iklan media cetak sejak permulaan tahun 1950, zaman ketika perekonomian dan perdagangan bangkit pascakesuraman peperangan. Indonesia sendiri secara de-facto menjadi sebuah negara pada 1945, saat proklamasi dikumandangkan. Ada beberapa literatur yang menunjukkan bahwa beberapa negara bahkan baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949, sehingga wajar apabila pemilihan awal waktu kajian iklan dilakukan pada tahun-tahun setelahnya. Barangkali, iklan media cetak yang terbit pada tahun-tahun sebelum merdeka dapat dikategorikan sebagai iklan zaman kolonial Belanda.
Awal waktu timeline kajian sejarah iklan yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Riyanto (2000). Iklan-iklan yang dikaji dalam buku ini dimulai pada akhir abad-19, sebelum Indonesia merdeka. Beberapa tulisan mengenai periklanan bahkan sepakat “menunjuk: Jan Pieterszoon Coen, salah satu gubernur jenderal Hindia Belanda, sebagai "Bapak Periklanan Indonesia." Tampaknya pijakan para pemikir periklanan yang memulai timeline kajiannya terhadap iklan media cetak sejak sebelum proklamasi 1945 melihat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Representasi Indonesia sebagai sebuah bangsa dapat dilihat dari berbagai hal; seperti bahasa iklan yang digunakan, media iklan, atau wilayah geografis sebagai cikal bakal negara. Iklan yang menggunakan bahasa Indonesia (atau Melayu), dituliskan pada korang-koran yang terbit berbahasa Melayu, dan terbit di wilayah-wilayah yang saat ini termasuk dalam wilayah negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai iklan media cetak Indonesia.
Menarik memahami iklan dengan melihat konteks bahasa. Setidaknya kita dapat meminjam pendapat Barthes mengenai tiga tahap pembacaan foto (yang dapat dianalogikan dengan visual iklan); perseptif, kognitif, dan etis ediologis. Tahap pembacaan pertama adalah perseptif yang terjadi ketika seseorang melakukan transformasi gambar ke kategori lisan (semacam penjelasan gambar). Tahap ini berkonotasi dengan imajinasi segaris pada unsur bahasa yang pada dasarnya satu titik. Konotasi kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan unsur-unsur historis dari denotasi. Konotasi yang dibangun ini atas dasar pedoman imajinasi, sehingga pengetahuan kultural sangat menentukan. Tahap ketiga yaitu etis ediologis dilakukan dengan mengumpulkan berbagai signifier yang siap dikalimatkan. Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa tersebut membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier (penanda). Barthes menyebut signifier pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified (petanda) sebagai idiologi. Tiga tahap ini adalah tahap ide pokok atau penyimpangannya untuk menentukan wacana suatu foto dan moralitas atau ideologi yang berkaitan.
Hardselling Menjadi Artselling
Prosedur konotatif dalam iklan dapat menghasilkan logo teknik; yakni bahasa buatan yang dirancang sepenuhnya secara sepihak dengan maksud mengaktualisasikan kepentingan ekonomi. Perkembangan dunia iklan saat ini tidak dapat dilepaskan dari logo teknik ini.
"Pekerjaan" logo teknik dalam iklan biasanya untuk membangkitkan naluri-naluri dasar manusia (seks, ketakutan, keintiman, dan bintang atau idola). Iklan yang diproduksi seolah-olah menjanjikan kepuasan senikmat kepuasan seksual, rasa aman dari ketakutan, keintiman dari sebuah keluarga, atau bahkan mendekatkan orang kepada sang idola atau bintang.
Nah, rupanya 'ketebalan' sekaligus 'kehalusan' logo teknik ini semakin berkembang seiring perkembangan teknologi dan dinamika wacana iklan. Secara tidak langsung dan bertahap, logo teknik turut bertanggung jawab atas fenomena-fenomena seperti: munculnya kebutuhan-kebutuhan baru (misalnya: gaya berpakaian, tata rambut, kendaraan), hilangnya atau promosi bahan tertentu (misalnya: berkurangnya aktivitas ngemall), dan bahkan hingga pada tingkat ideologi (misalnya: pendefinisian tabu).
'Keberhasilan' iklan rupanya berhubungan dengan gaya eksekusinya. Iklan klasik yang sifatnya hardselling sepertinya hanya mampu melakukan persuasi kepada audiens terhadap aktivitas pembelian produk. Logo teknik (atau istilah saya artselling--menjual dengan seni) berhasil menjangkau alam bawah sadar audiens, bahkan hingga budayanya, meskipun dalam waktu yang cukup lama. Pada gilirannya, iklan saat ini tidak hanya menjual produk saja sebagaimana di awal-awal perkembangannya. Oleh karena itu, gaya hardselling tidak lagi cocok. Iklan saat ini sudah menjual brand, menjual gaya hidup, sehingga membutuhkan pendekatan-pendekatan yang bersifat subliminal atau bawah sadar dengan menggunakan artselling.
____
Referensi:
Saat melihat iklan-iklan media cetak yang dibuat pada era klasik barangkali kita tersenyum. Pilihan diksi, layout, hingga branding sebuah produk dieksekusi dengan sangat sederhana, bahkan kadang-kadang berkesan konyol. Kesederhanaan eksekusi iklan klasik tentu saja berhubungan dengan teknologi yang masih sederhana pula. Diksi dan layout iklan klasik biasanya juga menjadi representasi zaman, dan membutuhkan kepekaan pembacaan audiens.
Iklan Klasik (berbagaireviews.com) |
Awal waktu timeline kajian sejarah iklan yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Riyanto (2000). Iklan-iklan yang dikaji dalam buku ini dimulai pada akhir abad-19, sebelum Indonesia merdeka. Beberapa tulisan mengenai periklanan bahkan sepakat “menunjuk: Jan Pieterszoon Coen, salah satu gubernur jenderal Hindia Belanda, sebagai "Bapak Periklanan Indonesia." Tampaknya pijakan para pemikir periklanan yang memulai timeline kajiannya terhadap iklan media cetak sejak sebelum proklamasi 1945 melihat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Representasi Indonesia sebagai sebuah bangsa dapat dilihat dari berbagai hal; seperti bahasa iklan yang digunakan, media iklan, atau wilayah geografis sebagai cikal bakal negara. Iklan yang menggunakan bahasa Indonesia (atau Melayu), dituliskan pada korang-koran yang terbit berbahasa Melayu, dan terbit di wilayah-wilayah yang saat ini termasuk dalam wilayah negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai iklan media cetak Indonesia.
Jan Pieterszoon Coen (wikipedia.org) |
Hardselling Menjadi Artselling
Prosedur konotatif dalam iklan dapat menghasilkan logo teknik; yakni bahasa buatan yang dirancang sepenuhnya secara sepihak dengan maksud mengaktualisasikan kepentingan ekonomi. Perkembangan dunia iklan saat ini tidak dapat dilepaskan dari logo teknik ini.
"Pekerjaan" logo teknik dalam iklan biasanya untuk membangkitkan naluri-naluri dasar manusia (seks, ketakutan, keintiman, dan bintang atau idola). Iklan yang diproduksi seolah-olah menjanjikan kepuasan senikmat kepuasan seksual, rasa aman dari ketakutan, keintiman dari sebuah keluarga, atau bahkan mendekatkan orang kepada sang idola atau bintang.
Nah, rupanya 'ketebalan' sekaligus 'kehalusan' logo teknik ini semakin berkembang seiring perkembangan teknologi dan dinamika wacana iklan. Secara tidak langsung dan bertahap, logo teknik turut bertanggung jawab atas fenomena-fenomena seperti: munculnya kebutuhan-kebutuhan baru (misalnya: gaya berpakaian, tata rambut, kendaraan), hilangnya atau promosi bahan tertentu (misalnya: berkurangnya aktivitas ngemall), dan bahkan hingga pada tingkat ideologi (misalnya: pendefinisian tabu).
'Keberhasilan' iklan rupanya berhubungan dengan gaya eksekusinya. Iklan klasik yang sifatnya hardselling sepertinya hanya mampu melakukan persuasi kepada audiens terhadap aktivitas pembelian produk. Logo teknik (atau istilah saya artselling--menjual dengan seni) berhasil menjangkau alam bawah sadar audiens, bahkan hingga budayanya, meskipun dalam waktu yang cukup lama. Pada gilirannya, iklan saat ini tidak hanya menjual produk saja sebagaimana di awal-awal perkembangannya. Oleh karena itu, gaya hardselling tidak lagi cocok. Iklan saat ini sudah menjual brand, menjual gaya hidup, sehingga membutuhkan pendekatan-pendekatan yang bersifat subliminal atau bawah sadar dengan menggunakan artselling.
____
Referensi:
- Kertamukti, R. (2010). Komunikasi Visual Iklan Cetak Rokok di Indonesia Kurun Waktu 1950 - 2000. Jurnal Aspikom 1(1) 91-108.
- Riyanto, B. (2000). Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat Jawa di Masa Kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Penerbit Tarawang.
- https://parkjonghwa.wordpress.com/2012/05/23/semiotika-unsur-langue-dan-parole-rolland-barthes/
- http://banggaberbahasa.blogspot.com/2012/09/semiotika-menurut-pandangan-roland_820.html
1 Comments :
numpang promo ya gan
Replykami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*