Beberapa waktu lalu Kompas pernah menurunkan berita mengenai iklan rokok yang cenderung mengganggu pikiran saya. Diberitakan bahwa iklan rokok akan ditambahi gambar-gambar mengerikan sebagai shock therapy bagi konsumennya. Diharapkan, dengan adanya penambahan gambar mengerikan tersebut menimbulkan efek kognitif bagi calon konsumen. Selanjutnya, konsumen akan menganggap bahwa dirinya akan mengalami efek sebagaimana gambar yang dilihatnya tersebut.
Perlu diketahui, iklan seperti ini pernah dilakukan di negara Jiran, Thailand. Efeknya memang cukup signifikan, angka perokok menurun. Namun, hal ini tidak lepas dari pelarangan pemerintahnya terhadap perokok untuk melakukan kebiasaannya di depan umum. Pelarangan ini nampaknya memiliki prosentase efek signifikan dalam menurunkan angka perokok ini.
Ihwal pelarangan merokok di tempat umum sebenarnya sudah dilakukan di Jakarta, nampaknya sebagai sebuah pilot project. Namun secara umum, pelarangan ini sekadar numpang lewat saja, dan efeknya pun sekadar hangat-hangat tai ayam. Kini belum ada lagi langkah lebih tegas dari pemerintah.
Pemerintah dikagetkan dengan laporan peningkatan angka merokok pada anak-anak yang meningkat drastis. Kemudian langkah penempelan gambar mengerikan ini dilakukan. Dan, tidak dengan maksud meremehkan, saya tidak yakin mengenai efektivitas langkah ini. Apalagi tidak dibarengi langkah pelarangan merokok di tempat umum secara massif. Kalaupun tidak secara massif, barangkali bisa dimulai dari instansi-instansi pemerintah dan lembaga pendidikan.
Ada sebuah solusi yang barangkali bisa dipikirkan pemerintah. Yakni penggunaan semacam pajak, atau pungutan bagi tiap iklan dan sponsorship yang dikeluarkan perusahaan rokok. Dana pungutan ini kemudian dikumpulkan untuk membuat counter-ads atau iklan perlawanan. Mengingat angka iklan dan sponsorship perusahaan rokok yang cukup besar, iklan tandingan ini akan cukup mendapatkan dana. Apalagi apabila dipasang pada slot iklan layanan masyarakat.
Foto: Thebrandgym.com
Continue Reading
Tajuk rencana kompas (25/2/2008) menjelaskan tentang ketidakbebasan pers di Malaysia, terkait dengan pembaruan izin yang harus dilakukan setiap tahun. Pembaruan izin ini nantinya akan memengaruhi orientasi pers untuk lebih condong pada pemerintah.
Sebenarnya, kebebasan pers bukanlah barang mudah. Indonesia pun pernah mengalami era dimana kebebasan merupakan sebuah kemewahan. Namun, era kebebasan pers yang dikatakan kebablasan juga pernah dirasakan.
Kebebasan pers sendiri juga merupakan konsep yang terkadang disalahartikan oleh sementara orang. Kebebasan pers paling tidak haruslah mempunyai dua dimensi kebebasan. Pertama, adalah 'kebebasan dari' (freedom from). Konsep ini, dapat dikatakan sebagai kebebasan yang mutlak harus didapat oleh pers. Kaitan konsep ini adalah, bahwa pers hendaknya terbebas dari campur tangan 'pihak luar' terhadap publikasi yang dilakukan pers.
Konsep ini melahirkan empat konsep kebebasan pers yang terkenal itu; Soviet Theory, Libertarian Theory, Social Responsibility Theory, Authoritarian Theory. Keempat konsep kebebasan tersebut diukur dari kadar campur tangan pemerintah dalam industri pers. Kasus pers Malaysia saya rasa berada diantara salah satu dari keempat konsep tersebut.
Selain konsep kebebasan dari (freedom from), perlu ditambahkan pula kebebasan pers sebagai 'kebebasan untuk' (freedom for). Kebebasan yang kedua ini, saya artikan sebagai kebebasan internal dalam industri pers. Kebebasan yang kedua ini mutlak tidak dimiliki oleh pers.
Kebebasan untuk (freedom for), tidak mungkin dimiliki oleh pers dengan berbagai alasan. Pertama, manusia merupakan makhluk berpikir. Keberadaan manusia sebagai makhluk berpikir, akan terkait dengan keberadaan manusia sebagai makhluk yang berada dalam dua dimensi kesadaran; alam sadar dan alam bawah sadar. Ketika manusia berkomunikasi, dikatakan dia berada pada alam sadar. Manusia yang tidak berada dalam alam sadar, tidak layak dikatakan berkomunikasi.
Pers, merupakan salah satu produk komunikasi manusia, salah satu produk alam sadar manusia. Manusia dalam memandang dunianya, selalu berdasarkan pada perspektif. Landasan perspektif inilah yang membawa manusia utuk selalu memilih pijakan dalam memandang dunianya. Dengan demikian, ketika manusia sedang berkomunikasi, termasuk dengan pers, manusia selalu membingkainya berdasarkan perspektif. Pembingkaian inilah yang akhirnya membuat komunikasi (pers) tidak bebas berbuat untuk (freedom for). Dengan demikian, produk teks yang terdapat dalam dunia pers tidaklah bebas, melainkan ada agenda tersembunyi didalamnya.
Alasan kedua, manusia mempunyai mekanisme pertahanan diri. Mekanisme ini, nantinya akan diaplikasikan manusia dalam setiap segi kehidupannya. Termasuk di dalamnya adalah kehidupan berkomunikasi. Mekanisme pertahanan diri dalam kehidupan berkomunikasi, diwujudkan dengan cara membentuk perspektif-perspektif dalam mempersepsi. Dalam kehidupan pers, hal ini diwujudkan dengan mempersepsi teks sesuai field of experience dan frame of reference yang dimiliki.
Alhasil, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah; kebebasan pers dari pemerintah, atau pihak luar lainnya sangat mungkin dilakukan, namun kebebasan pers dari internal persnya sendiri sangat tidak mungkin dilakukan dan sangat perlu diwaspadai. Semoga saja, kebebasan pers hakiki dapat diraih di Indonesia, karena pers merupakan pilar demokrasi keempat.
Foto:
madyamam.com
Continue Reading