Iklan vs Iklan
Beberapa waktu lalu Kompas pernah menurunkan berita mengenai iklan rokok yang cenderung mengganggu pikiran saya. Diberitakan bahwa iklan rokok akan ditambahi gambar-gambar mengerikan sebagai shock therapy bagi konsumennya. Diharapkan, dengan adanya penambahan gambar mengerikan tersebut menimbulkan efek kognitif bagi calon konsumen. Selanjutnya, konsumen akan menganggap bahwa dirinya akan mengalami efek sebagaimana gambar yang dilihatnya tersebut.
Perlu diketahui, iklan seperti ini pernah dilakukan di negara Jiran, Thailand. Efeknya memang cukup signifikan, angka perokok menurun. Namun, hal ini tidak lepas dari pelarangan pemerintahnya terhadap perokok untuk melakukan kebiasaannya di depan umum. Pelarangan ini nampaknya memiliki prosentase efek signifikan dalam menurunkan angka perokok ini.
Ihwal pelarangan merokok di tempat umum sebenarnya sudah dilakukan di Jakarta, nampaknya sebagai sebuah pilot project. Namun secara umum, pelarangan ini sekadar numpang lewat saja, dan efeknya pun sekadar hangat-hangat tai ayam. Kini belum ada lagi langkah lebih tegas dari pemerintah.
Pemerintah dikagetkan dengan laporan peningkatan angka merokok pada anak-anak yang meningkat drastis. Kemudian langkah penempelan gambar mengerikan ini dilakukan. Dan, tidak dengan maksud meremehkan, saya tidak yakin mengenai efektivitas langkah ini. Apalagi tidak dibarengi langkah pelarangan merokok di tempat umum secara massif. Kalaupun tidak secara massif, barangkali bisa dimulai dari instansi-instansi pemerintah dan lembaga pendidikan.
Ada sebuah solusi yang barangkali bisa dipikirkan pemerintah. Yakni penggunaan semacam pajak, atau pungutan bagi tiap iklan dan sponsorship yang dikeluarkan perusahaan rokok. Dana pungutan ini kemudian dikumpulkan untuk membuat counter-ads atau iklan perlawanan. Mengingat angka iklan dan sponsorship perusahaan rokok yang cukup besar, iklan tandingan ini akan cukup mendapatkan dana. Apalagi apabila dipasang pada slot iklan layanan masyarakat.
Foto: Thebrandgym.com
Post a Comment: