Kamis, 26 September 2019

“I'm a hungry planet, I had the blueest seas. All the people kept chopping down all my finest trees. Poisening my oxygen, diggin' in my skin. Takin' more out of my earth than they'll ever put back in. I'm a hungry planet.” Lagu dari The Byrds, Band asal London ini membangunkan penulis akan dunia kita yang sedang tidak dapat dianggap baik-baik saja.

Lirik tersebut juga menyadarkan penulis, bahwa ekosistem di dunia ini nampaknya dapat terbilang sudah di level krisis, walau begitu sangat disayangkan, nampaknya hal ini tidak begitu menjadi perhatian khusus oleh manusia di zaman teknologi ini.

Kerusakan ekosistem memang bisa terjadi akibat faktor ilmiah seperti; gempa bumi, kebakaran hutan akibat cuaca, banjir, longsor, dan peristiwa-peristiwa lainnya. Begitupun dengan faktor manusia, ternyata manusiapun ikut andil dalam kerusakan ekosistem. Aktivitas manusia seperti penebangan dan pembakaran hutan, memakai racun untuk mengambil ikan, penggunaan bahan kimia yang berlebihan, atau kebiasaan membuang sampah plastik sembarangan, adalah contoh kecil dari aktivitas manusia yang dapat merusak ekosistem di dunia ini.

Kerusakan ekosistem memunculkan banyak kesadaran-kesadaran (awareness) terbaru, yang telah dan sedang di gempar-gemporkan belakangan ini. Di Indonesia sendiri, telah banyak pula kegiatan yang mendukung kesadaran akan ekosistem ini. Misal kegiatan bebas sampah plastik di lingkungan laut, kelompok volunteer Indonesia’s firefighters untuk kebakaran hutan, juga upaya pemberantasan penebangan kayu liar dan perambahan pun telah di lakukan.

Sangat disayangkan, Indonesia yang terkenal dengan negara yang sangat berpotensi dalam hal sumber daya alamnya itu, justru dipergunakan dengan cara yang tidak semestinya. Dilansir dari laman sindonews.com yang bersumber dari Survei Litbang Koran Sindo bahwa terdapat 10 problem besar lingkungan di Indonesia yaitu pertama sampah, banjir, sungai tercemar, pemanasan global, pencemaran udara, rusaknya ekosistem laut, sulitnya air bersih, kerusakan hutan, abrasi, dan pencemaran tanah (04/05/18). Semua problematika tersebut ternyata banyak yang dipengaruhi oleh manusia yang egois dan tidak memperdulikan hal lain selain dirinya.

(laman terkait: https://minariajaebi.wordpress.com/2019/09/19/jeritan-tak-terdengar-dari-si-anak-kalimantan/)

Maraknya keresahan lingkungan yang sangat hebat ini ternyata tidak hanya dirasakan oleh Indonesia. Belakangan ini, demo yang dilakukan secara serentak di seluruh dunia telah dilaksanakan. Demo ini bertema Climate Strike, yang mana menuntut kepedulian kita sebagai manusia untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
This week will be historic. In over 150 countries, people are stepping up to support young climate strikers and demand an end to the age of fossil fuels. The climate crisis won’t wait, so neither will we. Young people have woken up much of the world with their powerful Fridays For Future school strikes for the climate. Now, millions of adults are joining in a huge wave of that will kick start renewed action all over the world. The urgency of the climate crisis requires a new approach and a just response centered on human rights, equity, and justice.” — Global Climate Strike
Dilanjut dengan demo protes mahasiswa pada September tahun 2019 ini di Indonesia yang salah satunya menuntut Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) di beberapa daerah di Indonesia. Dengan melihat contoh-contoh peristiwa ini kita dapat memastikan kalau sejujurnya our planet is not really okay.

What We Gonna Do?
Salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk dapat menyuarakan aksi dan membuat orang tersadarkan dengan banyaknya realita terkait dengan kerusakan lingkungan kita dapat menggunakan iklan sebagai media untuk menyuarakannya. Iklan tidak hanya berfungsi sebagai sebuah usaha untuk menerbitkan sebuah produk melainkan juga bisa berkaitan dengan hal-hal yang berupa gagasan. Gagasan-gagasan tersebut bisa berisikan ideologi atau pikiran yang ada pada si pembuat iklan itu sendiri.

Berkaitan dengan kerusakan lingkungan sendiri maka Iklan Layanan Masyarakat adalah iklan yang paling cocok untuk dijadikan sebagai sebuah medium untuk menyuarakan pendapat ke medan publik. Telah banyak Iklan layanan masyarakat di Dunia dan di Indonesia sendiri yang telah menggunakan Iklan Layanan Masyarakat sebagai sebuah medium ideologi atau pikiran. Seperti pada gambar dibawah ini :




Iklan dibuat semenarik mungkin, tentunya dengan alasan agar dapat menarik perhatian yang melihat. Namun apakah kita sudah memperhatikan bagaimana gagasan itu disampaikan melalui Iklan Layanan Masyarakat? Sudah efektifkah? Sudah kreatifkah kita?

“There are no shocking Pictures, only shocking reality”
Kira-kira, begitulah yang dikatakan Oliver Toscani mengenai Shockvertising. Shockvertising, nampaknya kata ini sangat asing di telinga masyarakat umum. Ya, mungkin hanya orang-orang yang sangat mendalami ilmu berkaitan dengan iklan saja yang telah memahami kata tersebut.

Shockvertising ini sebenarnya terdiri dari dua kata yakni Shock dan Advertising. Shock artinya ‘mengejutkan’ dan Advertising adalah ‘iklan’. Shockvertising sendiri merupakan sebuah jenis iklan yang dibuat dengan penggambaran yang ‘ekstrim’. Shockvertising biasanya dibuat dengan maksud agar hanya dengan melihat iklan, orang yang melihatnya dapat tersadarkan akan hal yang mungkin selama ini tidak ia sadari. Shockvertising dipopulerkan oleh seorang Italian bernama Benetton. Ia adalah seorang retailer baju yang menggagas United Colors of Benetton pada akhir tahun 80-an:

Shockvertising is a type of advertising generally regarded as one that “deliberately, rather than inadvertently, startles and offends its audience by violating norms for social values and personal ideals” (Darren et al. 2003: 268 in Paula, 2016)
Dapat kita simpulkan bahwa shockvertising biasanya berisi tulisan-tulisan dengan gambar yang kontroversial, disturbing, explicit, dan crass (Paula, 2016). Di Dunia telah banyak orang yang menggunakan iklan berjenis ‘Shockvertising’ ini. Seperti pada iklan layanan masyarakat dari WWF



Shockvertising is often applied in various strategies, for example in anti-fur or anti- smoking campaigns. This type of advertising turned out to be effective despite the fact that it has been criticized because of its offensive style
Nah, faktanya shockvertising ini biasanya digunakan untuk sebuah agenda kampanye karena di dalam sebuah gambarnya terdapat makna yang sangat dalam. Hanya dengan melihat gambar, orang bisa langsung mengerti apa makna yang ingin disampaikan oleh si pembuat iklan. Sekalipun memiliki makna yang sulit untuk disampaikan.

seperti contohnya iklan WWF dibawah ini:



Iklan layanan masyarakat ini memberikan informasi mengenai perdagangan hiu yang telah marak terjadi. Dalam iklan tersebut dijelaskan dalam gambar apabila ternyata bisa jadi kita adalah salah satu dari oknum penyebab musnahnya ikan hiu di dunia. Jadi, walaupun kita hanya sekedar membeli sup sirip hiu pun, nyatanya kita telah mensetujui perdagangan dan pembunuhan hiu tersebut. Lagi, hal ini dapat merusak ekosistem di laut.

Iklan dipoles dengan sentuhan terakhir, yaitu caption di sisi tengah bawah, bertuliskan, “stop one. stop them all.” yang menjelaskan apabila kita melakukan perilaku kecil, seperti tidak menjadi salah satu bagian dari orang yang berada di iklan tersebut, maka kita telah membantu WWF dalam melestarikan hiu yang hampir punah. Sangat menarik bukan?

____
Co-author: "Kelompok Najwa Shihab", editor: Runtiko

Referensi
https://nasional.sindonews.com/read/1302781/15/10-problem-besar-lingkungan-di-indonesia-1525347778
Machová, R., Huszárik, E.S. and Tóth, Z., 2015. The role of shockvertising in the context of various generations. Problems and Perspectives in Management, 13(1), pp.104-112.
Pérez-Sobrino, P., 2016. Shockvertising: conceptual interaction patterns as constraints on advertising creativity. Círculo de Lingüística Aplicada a la Comunicación, 65, pp.257-290.
Righton, Barbara. "When did television commercials become as violent as the programming they interrupt?" Archived 2007-02-23 at the Wayback Machine December 18, 2006. Retrieved January 26, 2008
Dahl, Darren W. & Frankenberger, Kristina D. & Manchanda, Rajesh V., 2003. "Does It Pay to Shock? Reactions to Shocking and Nonshocking Advertising Content among University Students," Journal of Advertising Research, Cambridge University Press, vol. 43(03), pages 268-280,









2 Comments

ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^

Reply

numpang promo ya gan
kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

Reply