Masa Depan Iklan Media Cetak
Akhir tahun 2018 silam saya terkejut ketika membaca kabar dari media cetak nasional perihal berhenti terbitnya sebuah tabloid olahraga legendaris: Bola. Tabloid ini turut menemani masa-masa kuliah dulu dengan tulisan-tulisan khasnya yang terbit setiap Selasa dan Jumat. Gaya tulisannya yang mendalam membuat Tabloid Bola tetap dibaca, meskipun saat itu berita olahraga menghiasi televisi setiap hari.
Kantor Tabloid Bola menjadi salah satu tujuan lokasi KKL angkatan kami di tahun-tahun akhir perkuliahan. Alasannya sederhana, hampir 80 persen mahasiswa (dan mahasiswi) membaca tabloid ini. Kami selalu kagum dengan tulisan-tulisan wartawan hebat seperti Wesley Hutagalung, atau Broto Happy; serta tidak lupa komik strip ikonik: Si Gundul.
Romantisme terhadap Tabloid Bola memancing rasa penasaran saya terhadap fenomena tutupnya media-media cetak. Saya coba menggali informasi melalui mesin pencari Google, dan menemukan beberapa media cetak ternama yang senasib dengan Tabloid Bola; ada Kawanku, Hai, Chip, Soccer, dan Sinyal.
Rupanya perubahan lanskap bisnis media saat ini lebih mengarah pada digital, sehingga turut menjadi penyebab media cetak cetak berhenti edar. Perubahan tersebut banyak terjadi pada media yang sifatnya reguler seperti mingguan dan bulanan, dalam hal ini tabloid dan majalah. Pada gilirannya, media-media cetak tersebut berpindah dalam versi daring (atau sebagian betul-betul sudah mati).
Pembaca media pada saat ini dengan mudah mendapatkan informasi secara gratis, sehingga menurunkan minat beli media cetak (yang biasanya berbayar). Kecepatan informasi yang ditawarkan media daring, diiringi perubahan karakter pembaca media (menyukai informasi ringkas) menambah derita media cetak tersebut.
Nasib Iklan Media Cetak?
Pada tahun 2016 Nielsen Indonesia merilis hasil survei mengenai belanja iklan di TV dan media cetak. Hasilnya, uang sebanyak Rp134,8 triliun atau naik 14 persen dari tahun sebelumnya dibelanjakan oleh para pembuat iklan. Dari angka itu, perolehan iklan di televisi mencapai 77 persen atau berkisar Rp103,8 triliun.
Media cetak hanya mendapatkan 23 persen pembelanjaan iklan, dengan rincian: koran sebesar Rp29,4 triliun atau 22 persen, dan majalah sebesar Rp1,6 triliun atau hanya 1 persen. Riset Nielsen ini melibatkan pembelanjaan iklan pada 15 stasiun televisi nasional, 9 surat kabar, serta 123 majalah dan tabloid.
Rilis survei Nielsen pada tahun 2017 menunjukkan bahwa belanja iklan televisi meningkat menjadi 80 persen dari nilai total belanja iklan Rp145 triliun. Artinya, belanja iklan media cetak menurun sebesar 3 persen, menjadi hanya 20 persen saja.
Media pesaing baru?
Pada 2017, lagi-lagi mengacu survei Nielsen Indonesia, pembaca media online Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sekitar 6 juta orang membaca berita setiap hari lewat media online, dibandingkan hanya 4,5 juta orang yang membaca berita media cetak. Selain itu, ada 1,1 juta orang yang membaca kedua media tersebut.
Perpindahan jumlah pembaca ke media online rupanya tak menjamin pertambahan pendapatan iklan. Sejumlah riset menyebut bahwa belanja iklan digital di Indonesia memang terus tumbuh, tapi tidak signifikan. Big Mobile, perusahaan periklanan asal Australia, menyebut kue iklan digital di Indonesia pada tahun 2016 hanya 17 persen dari total keseluruhan belanja iklan, atau sebesar 2,8 juta dolar AS. Data Statista, portal statistik online dari Jerman, menunjukkan pertumbuhan iklan digital tersebut. Segmen iklan digital terbesar, menurut portal ini, adalah "search engine advertising dan sosial media" dengan jumlah mencapai 888 juta dolar AS selama 2018. Artinya, didominasi dua perusahaan raksasa: Facebook dan Google; bukan media massa konvensional yang berpindah ke online.
Membaca beberapa data statistik dan penelitian tersebut, menerbitkan harapan akan eksistensi dan keberlanjutan iklan media cetak. Hal yang sepatutnya diingat, iklan media cetak juga mewakili media-media yang bersifat below the line; misalnya saja media luar ruang. Coba saja diamati di sekeliling kita, ada berapa iklan media luar ruang yang terpasang? Banyak!
Iklan media cetak, menurut saya, lebih cenderung sebagai karakter alih-alih sekedar kategori. Coba diamati beberapa media daring yang kita baca setiap hari; ada iklan-iklan yang sebenarnya berkarakter media cetak, namun dipasang secara daring. Iklan media cetak berubah menjadi iklan beku (still advertising), sebagai lawan iklan bergerak (moving advertising). Sayangnya, iklan jenis ini agak sulit diukur jumlah pembelanjaannya.
Analogi yang mungkin dapat digunakan untuk menggambarkan masa depan iklan media cetak adalah fotografi. Dahulu orang khawatir dengan dengan kekalahan fotografi dengan videografi; mengingat makin banyak media dan kamera yang murah. Ternyata saat ini Fotografi juga berkembang; bahkan ada cinemagraph. Kenapa media iklan cetak tidak?
____
data statistik didapatkan dari laman Radar Cirebon yang dapat diakses pada:
https://www.radarcirebon.com/media-online-tumbuh-subur-bagaimana-peluang-bisnisnya.html
Kantor Tabloid Bola menjadi salah satu tujuan lokasi KKL angkatan kami di tahun-tahun akhir perkuliahan. Alasannya sederhana, hampir 80 persen mahasiswa (dan mahasiswi) membaca tabloid ini. Kami selalu kagum dengan tulisan-tulisan wartawan hebat seperti Wesley Hutagalung, atau Broto Happy; serta tidak lupa komik strip ikonik: Si Gundul.
Cover Tabloid Bola Terbitan Terakhir (https://tempo.co) |
Rupanya perubahan lanskap bisnis media saat ini lebih mengarah pada digital, sehingga turut menjadi penyebab media cetak cetak berhenti edar. Perubahan tersebut banyak terjadi pada media yang sifatnya reguler seperti mingguan dan bulanan, dalam hal ini tabloid dan majalah. Pada gilirannya, media-media cetak tersebut berpindah dalam versi daring (atau sebagian betul-betul sudah mati).
Pembaca media pada saat ini dengan mudah mendapatkan informasi secara gratis, sehingga menurunkan minat beli media cetak (yang biasanya berbayar). Kecepatan informasi yang ditawarkan media daring, diiringi perubahan karakter pembaca media (menyukai informasi ringkas) menambah derita media cetak tersebut.
Nasib Iklan Media Cetak?
Pada tahun 2016 Nielsen Indonesia merilis hasil survei mengenai belanja iklan di TV dan media cetak. Hasilnya, uang sebanyak Rp134,8 triliun atau naik 14 persen dari tahun sebelumnya dibelanjakan oleh para pembuat iklan. Dari angka itu, perolehan iklan di televisi mencapai 77 persen atau berkisar Rp103,8 triliun.
Media cetak hanya mendapatkan 23 persen pembelanjaan iklan, dengan rincian: koran sebesar Rp29,4 triliun atau 22 persen, dan majalah sebesar Rp1,6 triliun atau hanya 1 persen. Riset Nielsen ini melibatkan pembelanjaan iklan pada 15 stasiun televisi nasional, 9 surat kabar, serta 123 majalah dan tabloid.
Rilis survei Nielsen pada tahun 2017 menunjukkan bahwa belanja iklan televisi meningkat menjadi 80 persen dari nilai total belanja iklan Rp145 triliun. Artinya, belanja iklan media cetak menurun sebesar 3 persen, menjadi hanya 20 persen saja.
Media pesaing baru?
Pada 2017, lagi-lagi mengacu survei Nielsen Indonesia, pembaca media online Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sekitar 6 juta orang membaca berita setiap hari lewat media online, dibandingkan hanya 4,5 juta orang yang membaca berita media cetak. Selain itu, ada 1,1 juta orang yang membaca kedua media tersebut.
Perpindahan jumlah pembaca ke media online rupanya tak menjamin pertambahan pendapatan iklan. Sejumlah riset menyebut bahwa belanja iklan digital di Indonesia memang terus tumbuh, tapi tidak signifikan. Big Mobile, perusahaan periklanan asal Australia, menyebut kue iklan digital di Indonesia pada tahun 2016 hanya 17 persen dari total keseluruhan belanja iklan, atau sebesar 2,8 juta dolar AS. Data Statista, portal statistik online dari Jerman, menunjukkan pertumbuhan iklan digital tersebut. Segmen iklan digital terbesar, menurut portal ini, adalah "search engine advertising dan sosial media" dengan jumlah mencapai 888 juta dolar AS selama 2018. Artinya, didominasi dua perusahaan raksasa: Facebook dan Google; bukan media massa konvensional yang berpindah ke online.
Membaca beberapa data statistik dan penelitian tersebut, menerbitkan harapan akan eksistensi dan keberlanjutan iklan media cetak. Hal yang sepatutnya diingat, iklan media cetak juga mewakili media-media yang bersifat below the line; misalnya saja media luar ruang. Coba saja diamati di sekeliling kita, ada berapa iklan media luar ruang yang terpasang? Banyak!
Iklan Luar Ruang di Jalan Protokol (Dokpri) |
Analogi yang mungkin dapat digunakan untuk menggambarkan masa depan iklan media cetak adalah fotografi. Dahulu orang khawatir dengan dengan kekalahan fotografi dengan videografi; mengingat makin banyak media dan kamera yang murah. Ternyata saat ini Fotografi juga berkembang; bahkan ada cinemagraph. Kenapa media iklan cetak tidak?
____
data statistik didapatkan dari laman Radar Cirebon yang dapat diakses pada:
https://www.radarcirebon.com/media-online-tumbuh-subur-bagaimana-peluang-bisnisnya.html
2 Comments
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
Replyhanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^
numpang promo ya gan
Replykami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*